Dalam gelar acara Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makasar tahun 2015, topik utama yang menjadi pembahasan para musyawirin adalah tentang konsep “Islam Berkemajuan”. Din Syamsuddin selaku ketua PP Muhammadiyah tahun 2005-2015 pada sambutannya menyampaikan gagasan tentang konsep Islam Berkemajuan sebagai sebuah pemahaman dan praktik Islam yang memiliki karakteristik moderat, progresif, mencerahkan, demokratis dan adil untuk diimplementasikan pada kancah lokal, nasional maupun internasional.
Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa, gagasan “berkemajuan” sebetulnya sudah dapat diidentifikasi dalam pemikiran KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Istilah “kemajuan” (majoe) dan “untuk maju” (memajoekan) terdapat dalam statuta organisasi pertama (1912). Dalam undang-undang organisasi disebutkan bahwa “Muhammadiyah bertujuan…..memajukan Islam di antara anggotanya”. Sedangkan dalam piagam tahun 1914 pasal 2a disebutkan bahwa “Muhammadiyah bertujuan untuk memajukan dan menggembirakan dakwah dan ajaran agama di Hindia Belanda”. Sebuah buku dengan judul “Islam Progresif : Kisah Perjuangan KH. Ahmad Dahlan pada Masa Awal” yang ditulis oleh murid KH. Ahmad Dahlan yaitu Kyai Syuja’ memberikan penjelasan bahwa gagasan Islam Berkemajuan terinspirasi dari sejarah KH. Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah.
Dalam pandangan Mukti Ali, alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah terbagi menjadi empat dimensi yaitu; 1) ketidakmurnian dan sinkritisme ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia; 2) lembaga pendidikan agama yang tidak efektif; 3) gerakan misionaris Protestan dan Katolik; 4) sikap para cendekiawan yang tidak peduli bahkan merendahkan Islam. Dari empat hal tersebut, maka Muhammadiyah memiliki visi dan misi sebagai berikut; 1) melakukan pemurnian terhadap ajaran Islam, sebagai upaya menghilangkan pengaruh dan kebiasaan yang bukan berasal dari Islam; 2) merekonstruksi ajaran Islam yang selaras dengan cara pandang modern; 3) menyusun ulang ajaran dan pendidikan Islam; 4) melakukan konservasi terhadap Islam dari ancaman eksternal.
Dari tinjauan latar belakang berdirinya Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan bahwa, atas dasar itulah kemudian Muhammadiyah berupaya melakukan pembaharuan atau modernisasi dalam bidang pemahaman dan pembinaan keagamaan, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial dan amal usaha yang dilandasi oleh fondasi Islam Berkemajuan. Sehingga, berbagai aspek tersebut terus mengalami perkembangan sampai sekarang ini.
Menurut literatur lain, Islam Berkemajuan merupakan gagasan keagamaan yang dikonstruksi oleh Muhammadiyah dalam rangka memberikan pencerahan bagi kehidupan umat manusia. Sebagaimana terdapat dalam pernyataan Pemikiran Muhammadiyah Abad Kedua yang disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2010 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sebagai berikut :
Islam yang berkemajuan dan melahirkan pencerahan secara teologis merupakan releksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana terkandung dalam pesan Al-Quran Surat Ali Imran ayat 104 dan 110 yang menjadi inspirasi kelahiran Muhammadiyah. Secara ideologis Islam yang berkemajuan untuk pencerahan merupakan bentuk transformasi Al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara aktual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Transformasi Islam bercorak kemajuan dan pencerahan itu merupakan wujud dari ikhiar meneguhkan dan memperluas pandangan keagamaan yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah dengan mengembangkan ijihad di tengah tantangan kehidupan modern abad ke-21 yang sangat kompleks”.
Dalam pandangan Zuly Qodir, untuk melihat komitmen Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam Berkemajuan dapat dilihat langsung dari keterlibatan Muhammadiyah di kehidupan masyarakat, yaitu melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Maksudnya adalah dakwah yang memiliki corak membawa kebenaran, perdamaian, keselamatan, kesejahteraan, keadilan, serta kerukukunan umat manusia melampaui batas-batas adanya perbedaan agama, suku, ras, golongan dan gender.
Pendapat yang disampakan Zuly Qodir tersebut juga dilandaskan pada “Pemikiran Muhammadiyah Abad Kedua (Zhawâhir al-Afkâr al-Muhammadiyyah li al-Qarni al-Tsâni) ” yang berbunyi sebagai berikut :
“Islam yang berkemajuan menyemaikan benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan, kemaslahatan, kemakmuran, dan keutamaan hidup secara dinamis bagi seluruh umat manusia. Islam yang menjunjunginggi kemuliaan manusia baik laki-laki maupun perempuan tanpa diksriminasi. Islam yang mengelorakan misi aniperang, anti-terorisme, anti-kekerasan, anti-penindasan, anti-keterbelakangan, dan anti-terhadap segala bentuk pengrusakan di muka bumi seperi korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kejahatan kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemunkaran yang menghancurkan kehidupan. Islam yang secara posiif melahirkan keutamaan yang memayungi kemajemukan suku bangsa, ras, golongan, dan kebudayaan umat manusia di muka bumi”.
Sementara itu, menurut Haedar Nashir sebagaimana dikutip oleh Zuly Qodir et al., menyatakan bahwa Islam Berkemajuan merupakan pemahaman serta aktualisasi jihad sebagai sarana dalam mewujudkan kemajuan, keadilan, kemakmuran, martabat dan kedaulatan. Jihad dalam hal ini bukan ditafsirkan sebagai perang suci, karena dinilai sebagai tindakan yang identik dengan kekerasan, konflik dan pertikaian. Menurutnya, jihad yang dimaksud adalah bentuk pejuangan sosial dalam mengatasi problematika dan tantangan masyarakat yang sangat krusial dan penting. Intinya, perbaikan masyarakat adalah yang menjadi orientasinya.
Dalam dokumen resmi “Risalah Islam Berkemajuan” yang disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta tahun 2022 disebutkan bahwa, Islam berkemajuan memiliki lima karakteristik yang perlu diperhatikan sebagai berikut; 1) berlandaskan Tauhid (al-mabni ‘ala al-Tauhid); 2) bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah (al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah); 3) menghidupkan Ijtihad dan Tajdid (ihya’ al- ijtihad wa al-tajdid); 4) mengembangkan wasathiyah (tanmiyat al-wasathiyah); 5) mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (tahqiq al-rahmah li al-‘alamin).
Abdul Mu’ti dalam pengantar buku yang ditulis oleh Kyai Syuja’ dengan judul “Islam Berkemajuan: Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal” juga menyampaikan lima fondasi Islam berkemajuan yang menjadi ciri khas dari Muhammadiyah yaitu; 1) tauhid yang murni; 2) memahami al-Qur’an dan Sunnah secara mendalam; 3) melakukan amal shalih yang memberikan manfaat dan solusi; 4) memiliki orientasi pada masa sekarang dan masa depan; 5) memiliki sikap toleran, moderat dan gemar bekerja sama.
Penelitian terbaru oleh Baidhawy , Arifin , Khoiruddin mengungkapkan bahwa Islam Berkemajuan sebagaimana difahami oleh Muhammadiyah tidak lepas dari interpretasi dan pemahaman surat al-Ma’un dan al-‘Asr. Kedua surat tersebut, memiliki kisahnya masing-masing dalam perjalanan dakwah KH. Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah, sehingga hanya dengan dua surat tersebut dakwah Muhammadiyah menunjukkan coraknya tersendiri.
Pertama, surat al-Ma’un yang menjadi etos dakwah Muhammadiyah, memberikan inspirasi pentingnya ritual ibadah yang disertai tindakan sosial. Dalam sejarahnya, KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surat ini secara berulang kali kepada para muridnya. Sehingga, memantik rasa penasaran sang murid bernama Kyai Syuja’ apa alasan terus mengajarkan surat ini padahal para murid sudah hafal. Lalu, Kyai Dahlan menanyakan kepadanya, apakah sudah mengamalkan surat tersebut. Sang murid mengatakan belum, maka Kyai Dahlan memerintahkan kepada muridnya untuk berkeliling kota mencari para fakir, miskin dan anak yatim untuk kemudian diberi makan dan pakaian yang layak sebagai bentuk pengamalan surat al-Ma’un. Dari kisah tersebut, pelajaran yang dapat diambil ialah pentingnya memahami isi al-Qur’an yang disertai pengamalan, bukan hanya sekadar hafal.
Menurut catatan beberapa cendekiawan, epistemologi yang digunakan Ahmad Dahlan dalam memahami surat al-Ma’un tersebut berbeda dari arus mainstream yang selama ini para mufasir lakukan. Pemahaman yang disertai praksis sosial adalah cara Ahmad Dahlan menghidupkan ayat al-Qur’an dalam tindakan nyata yang menunjukkan kepedulian kepada kaum dhuafa’ (proletar, tertindas).
Oleh sebab itu, Kyai Dahlan memiliki lima metode dalam memahami al-Qur’an yaitu; 1) mengetahui artinya; 2) memahami tafsir dan maksudnya; 3) jika terdapat larangan dalam al-Qur’an, sebaikanya menanyakan kepada diri sendiri apakah larangan tersebut sudah ditinggalkan; 4) jika terdapat perintah dalam al-Qur’an, sebaiknya menanyakan kepada diri sendiri apakah perintah tersebut sudah diamalkan; 5) jika keempatnya belum dilakukan, jangan beranjak ke ayat yang lain. Dalam kasus al-Ma’un, penafsiran dengan metode tersebut melegenda menjadi tafsir kitab suci yang benar-benar autentik.
Kedua, surat al-‘Asr sebagai etos dakwah Muhammadiyah dalam membangun peradaban. Menurut pandangan Hadjid murid KH. Ahmad Dahlan, surat al-‘Asr termasuk kategori surat yang pendek. Meskipun begitu, pesan moral yang terdapat di surat ini memiliki implikasi yang luar biasa dalam membentuk kebiasaan manusia yaitu melatih manejemen waktu dan kegiatan yang produktif.
Menurut catatan Hadjid, KH. Ahmad Dahlan mengajarkan surat ini kepada murid-muridnya selama 7 bulan lamanya. Biasanya KH. Ahmad Dahlan menyampaikan pengajian surat ini kepada bapak-bapak Muhammadiyah pada jam 07.00 pagi, ibu-ibu ‘Aisyiyah pada jam 08.00 pagi dan pemuda-pemudi setelah shalat dhuhur, dan mereka diperintahkan untuk menulis dan menghafal surat ini. Karena permintaan sang istri Nyai Walidah juga, akhirnya KH. Ahmad Dahlan membentuk pengajian untuk para buruh perempuan di Kauman Yogyakarta yang diberi nama “pengajian wal-‘asri”. Orang-orang Pekalongan juga menyematkan julukan “kyai wal-‘asri” kepada KH. Ahmad Dahlan.
Karena surat al-‘Asr ini juga, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah kader yang diberi nama “al-‘Asr” di bawah pimpinan Kyai Hadjid. Ajaran surat inilah yang membuat para pemuda menunjukkan ketertarikan mereka atas dakwah tersebut. Lapangan tempat bermain sepak bola para pemuda di sekolah ini juga, yang akhirnya diberi nama “al-asri”. Lapangan ini kemudian dikembangkan dengan dibangun stadion dan fasilitas tribun yang lengkap, dengan arsiteknya adalah Ir. Suratin (pendiri dan ketua umum pertama Persatuan Sepak Bola Indonesia atau disingkat PSSI). Kegigihan KH. Ahmad Dahlan dalam mengajarkan surat ini adalah, semata-mata memberikan pelajaran kepada muridnya terkait pentingnya selalu mengatur waktu dan mengisinya dengan kegiatan yang bermanfaat.
Tekad KH. Ahmad Dahlan untuk selalu mengajarkan surat al-‘Asr ini terinspirasi oleh satu pernyataan Imam Syafi’ yang dikutip oleh Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa “Jika saja, Allah tidak menurun ayat dan surat dari al-Qur’an, maka cukup hanya dengan “wal-‘asri” saja. Kandungan surat ini padat, namun merangkup kehidupan dan sejarah peradaban umat manusia. Spirit al-‘Asr ini dinilai dapat menavigasi kehidupan umat manusia menuju kemajuan dan keberadaban baik di dunia dan akhirat.
Dalam karya tafsirnya “al-Azhar” Buya Hamka menyebutkan empat martabat yang dimiliki oleh manusia yaitu “iman, amal shaleh, tausiah kebenaran, dan tausiah kesabaran”. Jika empat hal tersebut sirna, maka merugilah manusia. Maksudnya adalah, empat dimensi tersebut merupakan komponen pokok dalam setiap gerak langkah sejarah hidup manusia. Sedangkan, sejarah manusia adalah sejarah peradaban itu sendiri. Maka, surat ini mengandung pesan agama mengenai pilar -pilar penting dalam membangun peradaban.
Penggunaan kata-kata bentuk jamak seperti “amanu, ‘amilu, tawashau” menunjukkan konsep tentang kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (al-mujtama’). Kehidupan sosial ini dalam Islam dikaitkan dengan konsep ummah. Muhammadiyah kemudian merumuskan konsep “khairu ummah” (umat terbaik) sebagai modal penting dalam mewujudkan masyarakat yang utama atau peradaban yang utama. Masyarakat yang utama adalah yang memiliki kebudayaan dan peradaban maju, serta berlawanan dengan “khusr”, yang memiliki arti “kerugiaan, kehancuran, kemunduran, primitif dan tertinggal”.
Haedar Nashir berpendapat, bahwa Islam adalah agama yang memiliki misi mewujudkan peradaban yang maju (dîn al-hadhãrah). Menurutnya terdapat 28 ayat di Al-Qur’an sebagai landasan teologis yang menyatakan Islam sebagai agama peradaban. Selain itu juga bukti sejarah Nabi Muhammad yang berlangsung selama 23 tahun, yang puncak kegemilangannya ketika mewujudkan Madinah al-Munawaroh sebagai kota yang tercerahkan dan menjadi anti-tesis dari keadaan sosial yang berlangsung ketika masa sebelum Islam merupakan dalil historis, Islam sebagai agama dengan misi transformasi untuk memajukan peradaban umat manusia.
Oleh sebab itu surat al-‘Asr meskipun singkat, namun di dalamnya terdapat pilar-pilar penting peradaban. Menurut Khoiruddin, al-‘Asr ini mengandung empat etos kosmopolitan dalam mewujudkan peradaban yang besar. Pertama, iman (alladhina amanu) sebagai paradigma Tauhid, visi peradaban dan ideologi, sedangkan dalam tulisan Baidhawy iman disebut sebagai intisari peradaban. Kedua, pelembagaan amal shaleh (wa ‘amilu al-salihah) dalam rangka menciptakan karya-karya peradaban. Ketiga, penguasan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (wa tawasshaubil haq) sebagai persyaratan mutlak dalam membangun masyarakat utama dan peradaban yang unggul. Keempat, moralitas atau etika (watawashau bi al-sabr).
Maka, dari surat al-‘Asr ini pula, Mu’arif berpendapat bahwa Muhammadiyah memiliki empat mantra Islam Berkemajuan yaitu pendidikan, ajaran agama, aksi kemanusiaan dan publikasi (karya), yang masing-masing atas usulan murid KH. Ahmad Dahlan yaitu Hisyam, Fachruddin, Mochtar dan Syuja’. Keempatnya adalah tokoh penting sebagai asisten kepengurusan pertama kali Pimpinan Pusat (Hoofdbestuur) Muhammadiyah.

Isa Al Masih oleh : Isa Al Masih Putra Muhammadiyah (Mahasiswa UMM )

By zuhdi

Kepala LKSA Panti Asuhan 'Aisyiyah Kabupaten Nganjuk